Halaman

Assalamu'alaikum Sobat !! wellcome in my blog :)

Jumat, 17 Agustus 2012

17 agustus 1945


Pahlawan Untuk Indonesiaku
oleh: Andi Nur Muhammad Ichsan

 
demi negeri
kau korbankan waktumu
demi bangsa
rela kau taruhkan nyawamu
maut menghadang didepan
kau bilang itu hiburan

nampak raut wajahmu
tak segelintir rasa takut
semangat membara dijiwamu
taklukkan mereka penghalang negeri

hari-harimu diwarnai
pembunuhan, pembantaian
dihiasi bunga-bunga api
mengalir sungai darah disekitarmu
bahkan tak jarang mata air darah itu
muncul dari tubuhmu
namun tak dapat
runtuhkan tebing semangat juangmu

bambu runcing yang setia menemanimu
kaki telanjang tak beralas
pakain dengan seribu wangi
basah dibadan kering dibadan
kini menghantarkan indonesia
kedalam istana kemerdekaan

Pahlawan!
Untukmu derita untukmu penjara
bukan bintang tersemat di dada
semangatmu api negara berdaulat
namamu terukir di jantung rakyat.

Kamis, 16 Agustus 2012

Sudah Siapkah Kita Meninggalkan Ramadhan?

“Sungguh aku tak kuasa hidup tanpamu suamiku. Aku benar-benar mencintaimu. Kuharap engkau baik-baik saja dalam perjalanan,” ratap seorang istri kepada suaminya yang hendak pergi menjalankan tugas untuk waktu yang tidak singkat.
“Terbayang olehku betapa hampanya hidup ini tanpamu. Dan, aku tanpamu, tidaklah punya arti apa-apa,” ia terus menagis sambil memeluk sang suami.
Itulah cinta. Cinta akan menjadikan seseorang merasa memiliki terhadap apa yang dicintai. Tetapi semua itu adalah cinta biasa. Dalam film atau sinetron drama seperti itu banyak kita temui. Lantas adakah cinta yang luar biasa?

Semoga ibadah puasa kita diterima Allah SWT dan diberi kesempatan bertemu kembali di tahun depan, Amin.
Mari kita simak uraian berikut ini, sebuah ulasan sederhana tentang apa yang telah kita raih dari pertemuan dengan bulan yang penuh kebahagiaan ini? Selamat menikmati.
Waktu perpisahan dengan Ramadhan kian dekat. Sungguh waktu yang sangat mendebarkan karena kita akan berpisah dengan momentum paling mulia sepanjang tahun dalam hidup kita. Sementara masih banyak hal yang belum bisa kita rampungkan dalam waktu sebulan puasa. Mungkin iman kita belum teguh, mungkin takwa kita belum cukup, sehingga ada kekhawatiran kalau-kalau selepas Ramadhan hati ini belum bisa istiqomah di jalan Allah.
Setidaknya itulah yang diwaspadai oleh Rasulullah bersama para sahabat setiap menjelang akhir Ramadhan. Bersama para sahabatnya beliau lebih banyak intropeksi diri daripada bersenang-senang menyambut idul fitri. Oleh karena itu pada setiap sepuluh terakhir Ramadhan beliau senantiasa i’tikaf di masjid. Semua itu tiada lain agar Ramadhan benar-benar menghadirkan ketakwaan dalam hati.
Mengapa i’tikaf yang beliau pilih untuk mengisi sepuluh terakhir Ramadhan? Semua itu tidak lain karena Ramadhan sangat berharga dan masjid adalah satu-satunya tempat yang menjamin peningkatan iman dalam diri setiap Muslim. Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Muslim yang memakmurkan masjid adalah orang yang berpotensi besar mendapatkan petunjuk.
Sebagaimana firman-Nya, “Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS. 9 : 18).
Secara nalar di sini dapat dipahami bahwa Ramadhan sesungguhnya adalah momentum yang sangat tepat bagi seluruh umat Islam untuk menempa diri dalam ibadah untuk menadapatkan hidayah. Apalagi ketika Ramadhan dimanfaatkan sepenuhnya untuk memakmurkan masjid, tentu peluang masuknya hidayah akan semakin besar.
Sayangnya di Indonesia, kian menuju akhir Ramadhan masjid kian mengalami kemajuan shaf. Aktivitas ibadah pun tak semeriah awal Ramadhan. Sebagian besar umat Islam bergeser ke pusat-pusat perbelanjaan untuk hunting baju baru. Sebenarnya tidak salah, tetapi kalau itu yang jadi prioritas dengan meninggalkan amalan yang diteladankan oleh Rasulullah saw tentu sangat keliru.
Prioritas Nabi
Nabi Muhammad tidak pernah menghabiskan akhir Ramadhan untuk hunting baju baru atau aktivitas keduniaan. Beliau hanya fokus di masjid untuk ibadah. Salah satu di antaranya ialah dengan melakukan i’tikaf. Tentu sikap seperti itu tidak dipengaruhi karena zaman itu tidak ada pasar. Beliau adalah mantan pedagang ulung di zamannya dan pasar sangat ramai di Makkah dan Madinah.
“Adalah Rasulullah SAW jika telah masuk sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, beliau mengencangkan kainnya, menghidupkan malamnya, dan membangunkan keluarganya.” (HR. Bukhari-Muslim).
Jadi beliau menata diri untuk menertibkan diri dalam berkomunikasi dengan Allah SWT. Bukan hanya diri pribadi beliau, tetapi beiau ajak semua anggota keluarganya untuk bersama-sama menutup Ramadhan dengan fokus ibadah. Jika demikian alasan apa yang membuat kita memilih bersuka ria dengan kebendaan daripada intropeksi untuk menyempurnakan iman dengan banyak beribadah?
Sebagai ummat Rasulullah tentu kita akan memprioritaskan apa yang telah diprioritaskan Rasulullah dalam bulan Ramadhan, terutama pada sepuluh hari terakhir. Bukankah kita tidak pernah tahu kapan ajal akan menjemput kita. Maka patut kita waspada dengan sebenar-benarnya kewaspadaan dengan mengamalkan banyak ibadah dan amal sholeh.
Dalam Al-Qur’an Allah mengingatkan kita lewat firman-Nya, “Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang telah beriman: “Hendaklah mereka mendirikan shalat, menafkahkan sebahagian rezki yang Kami berikan kepada mereka secara sembunyi ataupun terang-terangan sebelum datang hari (kiamat) yang pada bari itu tidak ada jual beli dan persahabatan” (QS. 14 : 31).
Berjiwa Besar
Satu hal yang harus dipersiapkan dalam menyongsong akhir Ramadhan adalah kesiapan mental untuk memiliki jiwa besar. Yakni jiwa yang santun, cerdas, dan mulia sebagaimana telah diteladankan oleh Rasulullah saw.
Beliau mampu tidak marah dengan orang yang membencinya, memfitnahnya, bahkan memusuhinya. Beliau tetap tegar dan memiliki gudang maaf kepada mereka yang salah dalam menilai diri beliau.
Nah, dalam kehidupan sehari-hari, tidak jarang di antara kita ada yang terlibat dalam sebuah konflik, salah paham, atau bahkan mungkin perseteruan. Menjelang akhir Ramadhan, siapkanlah diri kita untuk membersihkan hati dari pretensi dan ego dengan memberikan pintu maaf kepada mereka. Tidak saja itu, tetapi juga mendoakan mereka agar mendapat ampunan dari sisi-Nya.
Allah SWT berfirman, “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya” (QS. 3 : 159).
Dari sini dapat dipahami bahwa makna takwa yang sesungguhnya adalah berusaha menjadi mausia yang seperti Allah gambarkan pada ayat di atas. Apabila sifat tersebut benar-benar menjelma dalam diri setiap Muslim, tetnu kemuliaan pribadi setiap Muslim akan benar-benar mengikuti jejak Rasulullah saw, indah, mulia, nan menentramkan.
Dengan sifat yang memungkinkan kita memiliki jiwa besar itu, insya Allah kita akan memiliki energi yang besar untuk bersabar dalam dakwah dan jihad di jalan Allah. Dan, tidak ada dambaan paling berharga bagi setiap Muslim yang lulur madrasah Ramadhan melainkan akan semakin membulatkan tekad dan memfokuskan diri untuk jihad fi sabilillah.
Itulah orang-orang yang berjiwa besar, yakni mereka yang jiwanya terpanggil untuk selamat dari siksa api neraka. “Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui” (QS. 61 : 10 – 11).
Apabila keinginan untuk selamat dari api neraka itu semakin kuat dalam dada kita tatkala memasuki akhir Ramadhan, maka bolehlah dikatakan bahwa kita benar-benar telah siap berpisah dengan bulan Ramadhan.
Tetapi jika sebaliknya, maka kita benar-benar akan kehilangan momentum berharga yang tidak akan penrah kembali untuk kedua kalinya. Semoga kita termasuk orang yang benar-benar siap berpisah dengan bulan penuh berkah ini dengan kesiapan jiwa raga untuk semakin produktif berjihad dan berdakwah di jalan Allah SWT. Amin, wallahu a’am.

Momentum Ramadhan dan Keindonesiaan Kita

Pada 22 Juni 1527 (22 Ramadhan 933 H) ditemani Fatahillah, Sunan Gunung Djati membangun Jayakarta. Sebuah nama yang diangkat dari al-Qur’an surah al-Fath (48): 1, Inna Fatahna laka Fathan Mubiina. Arti dari Jayakarta adalah Kemenangan Paripurna. Selanjutnya kota itu kini lebih dikenal dengan sebutan Jakarta.Oleh Imam Nawawi
KALTIM TODAY — SEBENTAR lagi kita akan memperingati Dirgahayu Kemerdekaan Republik Indonesia. Sehingga dalam kesempatan catatan akhir pekan kita kali ini, saya tertarik untuk sedikit mengulas tentang momen Ramadhan dalam kaitannya dengan Indonesia dan Keindonesiaan kita hari ini. Ada hal menarik di sana yang semoga saja dapat menjadi bahan perenungan kita bersama.
Hal yang istimewa kembali terjadi di tahun ini. Ramadhan dan peringatan hari kemerdekaan Indonesia berlangsung dalam satu kesempatan. Sungguh sangat luar biasa. Ahmad Mansur Suryanegara dalam karyanya “Api Sejarah,” merekam bahwa 17 Agustus 1945 bertepatan dengan hari Jum’at, 9 Ramadhan 1364 Hijriyyah.
Sekiranya bangsa ini mengakui Hijriyyah sebagai kalender resmi, tentu setiap 9 Ramadhan kita akan memperingati hari kemerdekaan negara kita. Adalah sesuatu yang sungguh sangat luar biasa, sekali lagi. Sebab bangsa ini akan selalu termotivasi untuk berbuat dengan landasan nilai-nilai Ilahiyah. Selain itu secara psikologis hal ini tentu akan mendorong para pemangku amanah rakyat yang duduk di atas sana untuk bekerja secara maksimal, berlaku jujur, dan adil.
Momentum ini tentu bukan sebuah kebetulan atau sekedar sesuatu yang berjalan biasa saja. Seperti pemahaman kaum sekularis yang kini banyak mendominasi wajah media tanah air. Jika demikian cara pandang yang didahulukan maka hal ini sama dengan membiarkan beku indera dan akal sehat kita sebagai manusia.
Tentu ada maksud besar mengapa Allah SWT mentakdirkan kemerdekaan Indonesia pada bulan suci Ramadhan dan momen bersejarah itu terulang kembali di tahun ini. Kita merayakan HUT RI ke-66 tersebut bertepatan di bulan Ramadhan ini.
Seperti dalam kasus perang Badar, Ramadhan bagi bangsa Indonesia memberi kenangan indah penuh hikmah, rahasia, spirit, nilai kejuangan dan heroisme yang akan selalu dikenang sepanjang sejarah.
Merupakan satu langkah tepat dan strategis jika kita sebagai generasi muda terkini, kembali membuka lembaran sejarah bangsa ini dengan penuh kecintaan dan kecermatan. Dengan demikian insya Allah analisa kita tentang masa depan bangsa tidak akan salah jalan. Bahkan, insya Allah, kita tidak akan mudah tertarik menjadi burung beo yang selalu suka meniru gaya bangsa asing.
Bagaimana bangsa ini bisa memiliki bahasa persatuan, bahasa Indonesia, sehingga kita menjadi satu-satunya bangsa terjajah di Asia Tenggara yang proklamasinya menggunakan bahasanya sendiri, bukan bahasa penjajah.
Bagaimana bisa, negeri kepulauan yang oleh Geolog dan Fisikawan Nuklir asal Brazil, Prof. Arysio Santos diklaim sebagai pusat peradaban Atlantis yang diimpikan para filosof Yunani itu, kini menjadi satu-satunya negara yang memiliki penduduk Muslim terbesar di dunia. Apa hikmah dibalik ini semua? Mari kita kaji dengan seksama.
Padamnya Api Sejarah
Seluruh bangsa Indonesia pasti mengenal nama Wali Songo. Apalagi mereka yang pernah berziarah ke pulau Jawa dan menyempatkan diri menghirup udara di area pemakaman para wali sembilan itu. Tentu dapat dipastikan bahwa Wali Songo itu nyata dan menyejarah.
Sayangnya sejarah Wali Songo kini tak lagi banyak dikaji pemuda negeri ini. Padahal suka atau tidak suka, fakta sajarah menyatakan bahwa Wali Songo itulah para pionir berdirinya bangsa yang merdeka pada 17 Agustus 1945 ( 9 Ramadhan 1364 H).
Satu dari sembilan wali itu bernama Syarif Hidayatullah, kini namanya menjadi nama universitas Islam terbesar di Indonesia (UIN Jakarta) berhasil membangun tiga kekuasaan politik Islam di Jawa Barat; Banten, Jayakarta, dan Cirebon.
Dalam satu riwayat disebtukan bahwa Sultan Babullah dari Kesultanan Ternate ternyata masih memiliki garis keturunan dengan Syarif Hidayatullah yang juga dikenal dengan julukan Sunan Gunung Djati.
Pada 22 Juni 1527 (22 Ramadhan 933 H) ditemani Fatahillah, Sunan Gunung Djati membangun Jayakarta. Sebuah nama yang diangkat dari al-Qur’an surah al-Fath (48): 1, Inna Fatahna laka Fathan Mubiina. Arti dari Jayakarta adalah Kemenangan Paripurna. Selanjutnya kota itu kini lebih dikenal dengan sebutan Jakarta.
Sejarawan Ahmad Mansur Suryanegara telah merekam jelas bahwa nama Jayakarta melambangkan rasa syukur kepada Allah, atas kemenangannya dalam menggagalkan usaha penjajahan Kerajaan Katolik Portugis di Pelabuhan Kalapa atau Sunda Kalapa.
Tidak sekedar membangun kekuatan politik, jauh sebelum perang memperebutkan Sunda Kelapa terjadi aktivitas dagang telah menjadi tradisi sebagian besar anggota Wali Songo. Bahasa Melayu adalah bahasa bersama, sehingga transaksi jual beli bisa dilangsungkan di seluruh kawasan Nusantara. Jadi wajar jika kemudian kita memiliki bahasa persatuan yaitu Bahasa Indonesia.
Hal ini menunjukkan bahwa Wali Songo adalah pelopor bangsa dalam melawan para penjajah. Sayangnya, Wali Songo kini sering dilupakan. Padahal dari perjuangan merekalah 400 tahun kemudian bangsa ini menjadi negara yang berdaulat dengan Jakarta sebagai ibu kota negara.
Jadi ibu kota negara kita, Jakarta, ternyata didirikan oleh seorang wali bersama sahabat seperjuangannya Fatahillah, yang nama itu sendiri diangkat dari al-Qur’an. Sungguh satu fakta yang sangat mengagumkan. Namun sekali lagi, amat sayang, pemuda hari ini banyak yang rabun jauh terhadap sejarah sendiri.
Islam dan Indonesia: Tak Terpisahkan
Uraian singkat di atas sedikit memberikan satu gambaran yang cukup jelas bahwa sejatinya Indonesia dan Umat Islam yang menjadi penghuni mayoritas negeri ini seperti dua sisi mata uang. Indonesia dan Umat Islam adalah satu kesatuan. Ia sama sekali tidak bisa dipisahkan. Baik secara historis, yuridis maupun kultural.
Namun sayangnya, potensi keragaman umat Islam di tanah air kadang kala masih dilihat sebagai ancaman, khususnya oleh pemerintah. Bukan sebagai potensi yang bisa dikoordinasikan, sehingga mampu melahirkan satu gerakan massif yang berkesinambungan.
Fakta boleh direkayasa, namun sejarah tidak bisa kita pungkiri bahwa peranan umat Islam terhadap negeri khatulistiwa ini sungguh tidak bisa diabaikan atau dihilangkan begitu saja. Lihat saja peranan alumni pondok pesantren beberapa saat setelah kemerdekaan.
Moh. Rasydi, alumni Pondok Pesantren Jamsaren, misalnya, dia adalah Menteri Agama RI pertama. Ada pula Muhammad Natsir yang alumni Pondok Pesantren Persis yang menjadi Perdana Menteri Indonesia. Selain itu, ada sosok KH. A. Wahid Hasym alumnus Pondok Pesantren Tebuireng, KH Kahar Muzakkir dan tokoh lain, yang masuk sebagai anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan.
Tersebut juga KH Muslih Purwokerto dan KH Imam Zarkasy yang alumni Jamsaren dan pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor. Keduanya adalah tokoh yang menjadi anggota Dewan Perancang Nasional. Serta jangan lupakan bakti seorang KH Idham Chalid yang menjadi wakil Perdana Menteri dan Ketua MPRS.
Singkatnya, komponen utama dari umat Islam telah berpartisipasi dan berintegrasi dengan bangsa ini hampir di setiap lini perjuangan. Menariknya mereka menduduki jabatan-jabatan itu tidak untuk kepentingan sesaat, tapi lebih untuk membela dan memperjuangkan agama, negara dan bangsa kita ini.
Keberanian yang Tak Padam
Hampir seluruh penjajah, mulai dari Portugis, Inggris, Belanda dan terakhir Jepang sangat mewaspadai kekuatan umat Islam. Mereka sangat berhati-hati dalam menghadapi kekuatan umat Islam. Penjajah selalu khawatir sebab umat Islam memiliki mental juang yang tak mudah dipadamkan. Apalagi kalau sekedar mengandalkan senjata, pasti umat Islam bangkit dan balik menyerang.
Sejarah kemenangan Fatahillah atas tentara penjajah Portugis di Sunda Kelapa (kini Jakarta) benar-benar membuat Barat sangat trauma. Atas pengalaman historis tersebut dan kuatnya perlawanan Muslim di Aceh, penjajah Belanda pun memanggil Snouck Hurgronje, seorang warga Belanda berdarah Yahudi yang pernah lama hidup di Makkah. Snouck didatangkan ke Indonesia untuk mengatasi perlawanan umat Islam secara halus dan terselubung.
Secara terbuka, jika negara ini diinjak-injak, atau diganggu kedaulatannya, maka para ulama yang menjadi pemimpin umat akan tampil di garda terdepan perjuangan merebut kedaulatan. Satu kisah menarik layak kita renungkan.
Kekejaman, keberingasan dan kebrutalan tentara Jepang ternyata tak mampu berlanjut di hadapan ayahanda Buya Hamka yang berdampak pada perubahan kebijakan penjajah Jepang.
Pada pertengahan 1943, Shumubu (instansi urusan agama Islam) yang dibentuk diujung tahun 1942 mengundang beberapa ulama. Pertemuan dipimpin oleh kolonel Horie yang didampingi oleh KH. Abdul Karim Amrullah (ayah Buya Hamka), dan dihadiri oleh 59 ulama yang diundang dari seluruh Jawa.
Seperti biasa Jepang selalu memulai pertemuan dan memaksa yang lain untuk melakukan Seikeirei, tradisi membungkuk hingga sembilan puluh derajat (sama seperti rukuk) menghadap arah Tokyo sebagai bentuk penghormatan kepada raja Jepang.
Semua hadirin berdiri sebagai tanda kepatuhan, kecuali KH Abdul Karim Amrullah; beliau tetap duduk dan tidak melaukan Seikeirei itu. Semua orang istimewa dan para perwira Jepang yang menyaksikan hal itu tercengang dan terkejut dengan sikap KH Abdul Karim Amrullah itu. Melihat kejadian tersebut ternyata Jepang tidak berani bertindak apa-apa terhadap beliau.
Atas keberanian KH Abdul Karim Amrullah itu, Jepang langsung mencabut kewajiban Seikeirei atas seluruh rakyat Indonesia. Selanjutnya 3 Oktober 1943 KH. Abdul Karim Amrullah dan beberapa temannya menjadi pelopor terbentuknya Pembela Tanah Air (Peta) yang ternyata menjadi embrio terbentuknya Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Ingin Berjaya, Berdayakan!
Akan tetapi fakta ironis terjadi, pemerintah seolah tidak lagi mempedulikan sejarah. Belakangan umat Islam digempur dengan berbagai isu yang irasional. Mungkin benar saja ada oknum orang Islam yang berbuat teror. Tetapi hakikat ajaran Islam sama sekali tidak berbau terorisme.
Atas dasar fakta yang telah diuraikan di atas, sudah seharusnya pemerintah memandang positif dan mengutamakan sikap kooperatif terhadap umat Islam. Berikanlah hak-hak umat Islam untuk beribadah dengan baik. Sungguh telah banyak yang diberikan umat ini terhadap negara.
Bayangkan saja, dari sisi zakat misalnya, jika dibandingkan dengan potensi pajak, zakat jauh lebih menjanjikan dari pada pajak. Orang membayar zakat jauh lebih mudah dari pada membayar pajak. Bayangkan jika semua umat Islam menyadari perlunya menjalankan ibadah secara sempurna, terkhusus kewajiban membayar zakat, tentu rakyat kita akan sejahtera.
Sadarilah wahai pemegang kebijakan bahwa Indonesia tidak bisa dipisahkan dari umat Islam dan umat Islam adalah bagian tak terpisahkan dari Indonesia.
Oleh karena itu, di bulan suci ini yang 66 tahun lalu kita memproklamasikan kemerdekaan RI bersama, harus dijadikan momentum untuk membangun integrasi bangsa dengan kembali memberdayakan potensi umat Islam secara utuh demi terwujudnya Indonesia yang adil dan makmur. Semoga.

Purple ! :))))

Asslamu'alaikumm, para Hadirinnn !! :D
apa kabarr!!??? udaa Lamaa Ana uda ngga postingan yaw *sokbhasaarabsiana*\
Soalnya ygwktu uda msuk pesntren kaya gini,, kumat dah  :D *haha* gimana nntii ya -___-' pasii lebih jarang lagi postingannya .!!paling-paling sebulan sekali..!!  tp ngga papa, sering-sering visit kesini ya sahabat :*

nah,,. hari ini mau cerita-cerita aja ..!! ini foto waktuu lagi jalan-jalan sama Suci..



KEBAHAGIAAN DAN KEINDAHAN BULAN SUCI RAMADHAN

A. pendahuluan

ÙŠَا Ø£َÙŠُّÙ‡َا الَّØ°ِينَ آمَÙ†ُوا Ùƒُتِبَ عَÙ„َÙŠْÙƒُÙ…ُ الصِّÙŠَامُ ÙƒَÙ…َا Ùƒُتِبَ عَÙ„َÙ‰ الَّØ°ِينَ Ù…ِÙ†ْ Ù‚َبْÙ„ِÙƒُÙ…ْ Ù„َعَÙ„َّÙƒُÙ…ْ تَتَّÙ‚ُونَ (١٨٣)
.              
 “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”,(QS. Al-Baqarah : 183 )

Ramadhan merupakan bulan yang sangat istimewa. Bulan yang ditunggu-tunggu pecinta surga. Pernahkan kita berpikir mengapa demikian,? Hal tersebut karena pada bulan ini pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu ibadah, amal, dan taqarrub (mendekatkan diri) kepada Ilahi terbuka lebar, pintu-pintu neraka ditutup dan syaitan-syaitan dibelenggu. Bulan dimana dijanjikan oleh_Nya rahmat (karunia), maghfirah (ampunan), dan itqun min al-nar (pembebasan dari api neraka). Puasa akan membangunkan hati Mukmin yang ‘tertidur’ merasa selalu diawasi Allah sehingga mencegah kemungkaran. Perut yang kenyang dapat memandulkan perasaan sehingga menjadikan hati keras, menyuburkan sikap liar, dan maksiat kepada Allah dan sesama manusia tetapi dengan puasa kita dapat merasakan kelaparan sesama sehingga menimbulkan empati bagi sesama dan solidaritas sesama muslim. Betapa indahnya bulan ini yang merupakan wahana memupuk solidaritas antar umat manusia. Dan pada akhir bulan keutamaannya disempurnakan dengan kewajiban membayar zakat fitrah sebagai manifestasi puncak solidaritas sosial tersebut.
Betapa mulianya bulan ini, dimana di dalamnya Allah yang Maha Pemurah menjadi lebih pemurah lagi. Dilipatkangandakan-Nya perhitungan pahala orang yang berbuat kebajikan. Siapa saja yang melakukan ibadah sunnah dihitung melakukan kewajiban dan yang melakukan kewajiban dilipatkangandakan pahalanya. Sesungguhnya engkau akan dinaungi bulan yang senantiasa besar lagi penuh berkah, bulan yang di dalamnya ada suatu malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Ramadhan adalah bulan sabar dan sabar pahalanya surga. Ramadhan adalah bulan pemberian pertolongan dan bulan Allah menambah rezeki orang Mukmin. (HR al-Bukhari dan Muslim).

  1. Makna Puasa (Ramadhan)

Apa yang akan kita peroleh dari bulan yang mulia ini tergantung pada diri kita masing-masing. Semuanya tentu berpulang pada bagaimana kita memaknai puasa Ramadhan itu sendiri. Bila puasa dimaknai sekadar tidak makan dan minum serta  tidak melakukan yang membatalkan puasa, tentu hanya itu pula yang bakal didapat.  Betapa banyak orang berpuasa tidak mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan betapa banyak orang yang menghidupkan malam tidak mendapatkan apa-apa kecuali begadangnya saja. Apakah itu pilihan kita saudaraku?? Tentu tidak. Puasa harus dimaknai lebih dari sekedar itu, puasa adalah amal ibadah dimana didalamnya penuh dengan kebaikaan, kebajikan dan berkah dimana kita harus senantiasa menjaga ibadah puasa kita dari perkara-perkara yang sia-sia. Mau melewatkan waktu selama Ramadhan dengan sia-sia atau meraih keutamaan-keutamaannya adalah tergantung kemauan dan pilihan kita.
Kata puasa berasal dari Bahasa Sansekerta. Menurut Bahasa Arab, puasa berasal dari kata shaum atau shiam. Menurut Bahasa Indonesia, puasa artinya menahan diri. Kata menahan diri mencakup beberapa makna, seperti menahan diri tidak makan dan minum serta tidak melakukan hubungan suami istri selama waktu tertentu. Puasa sendiri dikenal oleh seluruh bangsa di dunia, seperti Indonesia, Mesir kuno, Tionghoa, Tibet, Arab, dan sebagainya, juga dilakukan oleh hampir seluruh penganut agama, baik Katholik, Kristen, Hindhu ataupun Budha.


  1. Nilai-Nilai Pendidikan dalam bulan Ramadhan

Puasa, bukan sekedar kewajiban tahunan, dengan menahan lapar dan berbuka, kemudian setelah itu hampir tidak berbekas dalam jiwa ataupun dalam perilaku dalam bersosialisasi di masyarakat, namun puasa lebih kepada kewajiban yang mampu menggugah moral, akhlak, dan kepedulian kepada hal social kemasyarakatan. Puasa merupakan kewajiban yang universal, dan sebagai orang yang beragama Islam, maka perlu diyakini bahwa puasa merupakan kewajiban yang disyariatkan untuk setiap muslim/mukmin, seperti layaknya sebagai umat dari Nabi Muhammad SAW.
Puasa, merupakan satu cara untuk mendidik individu dan masyarakat untuk tetap mengontrol keinginan dan kesenangan dalam dirinya walaupun diperbolehkan. Dengan berpuasa seseorang dengan sadar akan meninggalkan makan dan minum sehingga lebih dapat menahan segala nafsu dan lebih bersabar untuk menahan emosi, walaupun mungkin terasa berat melakukannya.
Namun, apapun yang diperbuat di bulan puasa ini, semuanya kembali kepada kesadaran diri masing-masing, untuk memahami makna puasa, dan makna-makna lain yang akan menentukan sikap dan perilaku diri ke depan setelah berlalunya bulan puasa. Oleh karena itu, apa yang sampai di mata dan telinga Allah, adalah niat, maka hati dan pikiran kita untuk menjalankan ibadah puasa, bukan penampilan lahiriah atau materi peribadatan yang dilakukan
D.    Indah dan Nikmatnya Ramadhan
Bulan Ramadhan merupakan bulan yang istimewa, bulan penuh berkah, dan segala amal baik umat-Nya di dunia akan dibalas berlipat ganda oleh Tuhan. Semangat untuk menjalankan ibadah puasa, mampu membentuk karakter untuk memperbanyak amal kebajikan maupun amal ibadah spiritual dalam diri. Selain itu, bulan puasa merupakan bulan yang dapat digunakan untuk membuat mental menjadi tetap konsisten dan istiqamah dalam sebelas bulan berikutnyaBulan Ramadhan merupakan bulan yang istimewa, bulan penuh berkah, dan segala amal baik umat-Nya di dunia akan dibalas berlipat ganda oleh Tuhan. Semangat untuk menjalankan ibadah puasa, mampu membentuk karakter untuk memperbanyak amal kebajikan maupun amal ibadah spiritual dalam diri. Selain itu, bulan puasa merupakan bulan yang dapat digunakan untuk membuat mental menjadi tetap konsisten dan istiqamah dalam sebelas bulan berikutnya
Berikut ini adalah cara-cara memaknai Ramadhan yang disampaikan oleh Syaikh Dr. Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhaili pada malam Jum’at 27 Sya’ban 1423 H di Masjid Dzun Nurain Madinah, yang berjudul ‘Agar Ramadhan Kita Bermakna Indah’ .

Cara Pertama Memaknai Ramadhan : Bertawakal kepada Allah Ta’ala

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Dalam menyambut kedatangan musim-musim ibadah, seorang hamba sangat membutuhkan bimbingan, bantuan dan taufik dari Allah ta’ala. Cara meraih itu semua adalah dengan bertawakal kepada-Nya.”

Cara Kedua Memaknai Ramadhan: Banyak Bertaubat Sebelum Ramadhan Tiba

Banyak sekali dalil yang memerintahkan seorang hamba untuk bertaubat, di antaranya: firman Allah ta’ala:

  
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai,(QS. At.Tahrim. 8 ).

Kita diperintahkan untuk senantiasa bertaubat, karena tidak ada seorang pun di antara kita yang terbebas dari dosa-dosa. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan, “Setiap keturunan Adam itu banyak melakukan dosa dan sebaik-baik orang yang berdosa adalah yang bertaubat.” (HR. Tirmidzi dan dihasankan isnadnya oleh Syaikh Salim Al Hilal)

Cara Ketiga Memaknai Ramadhan : Membentengi Puasa Kita dari Faktor-Faktor yang Mengurangi Kualitas Pahalanya

Sisi lain yang harus mendapatkan porsi perhatian spesial, bagaimana kita berusaha membentengi puasa kita dari faktor-faktor yang mengurangi keutuhan pahalanya. Seperti menggunjing dan berdusta. Dua penyakit ini berkategori bahaya tinggi, dan sedikit sekali orang yang selamat dari ancamannya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan:

“Barang siapa yang tidak meninggalkan kata-kata dusta dan perbuatannya, maka niscaya Allah tidak akan membutuhkan penahanan dirinya dari makanan dan minuman (tidak membutuhkan puasanya).” (HR. Bukhari)

Cara  Keempat Memaknai Ramadhan : Memprioritaskan (Menyempurnakan) Amalan yang Wajib

Hendaknya orang yang berpuasa itu memprioritaskan amalan yang wajib. Karena amalan yang paling dicintai oleh Allah ta’ala adalah amalan-amalan yang wajib. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan dalam suatu hadits qudsi, bahwa Allah ta’ala berfirman:

“Dan tidaklah seseorang mendekatkan diri kepada-Ku dengan suatu amalan yang lebih Aku cintai daripada amalan-amalan yang Ku-wajibkan.” (HR. Bukhari)
Seandainya kita termasuk orang-orang yang amalan sunnahnya tidak mampu diperbanyak pada bulan puasa, maka setidaknya kita berusaha untuk memelihara shalat lima waktu dengan baik, dikerjakan secara berjamaah di masjid (bagi pria), serta berusaha sesegera mungkin berangkat ke masjid sebelum adzan dikumandangkan. Sesungguhnya menjaga amalan-amalan yang wajib di bulan Ramadhan adalah suatu bentuk ibadah dan taqarrub yang paling agung kepada Allah.
Sungguh sangat memprihatinkan, tatkala kita dapati orang yang melaksanakan shalat tarawih dengan penuh semangat, bahkan hampir-hampir tidak pernah absen, namun yang disayangkan, ternyata dia tidak menjaga shalat lima waktu dengan berjamaah. Terkadang bahkan tidur, melewatkan shalat wajib dengan dalih sebagai persiapan diri untuk shalat tarawih!!? Ini jelas-jelas merupakan suatu kejahilan dan bentuk peremehan terhadap kewajiban! Sungguh hanya mendirikan shalat lima waktu berjamaah tanpa diiringi dengan shalat tarawih satu malam, lebih baik daripada mengerjakan shalat tarawih atau shalat malam, namun berdampak menyia-nyiakan shalat lima waktu. Bukan berarti kita memandang sebelah mata terhadap shalat tarawih, akan tetapi seharusnya seorang muslim menggabungkan kedua-duanya; memberikan perhatian khusus terhadap amalan-amalan yang wajib seperti shalat lima waktu, lalu baru melangkah menuju amalan-amalan yang sunnah seperti shalat tarawih.

Cara  Kelima Memaknai Ramadhan: Berusaha untuk Mendapatkan Lailatul Qadar

Setiap muslim di bulan berkah ini berusaha untuk bisa meraih lailatul qadar. Dialah malam diturunkannya Al-Qur’an (QS. Al-Qadar: 1, dan QS. Ad-Dukhan: 3), dialah malam turunnya para malaikat dengan membawa rahmat (QS. Al-Qadar: 4), dialah malam yang berbarakah (QS. Ad-Dukhan: 3), dialah malam yang lebih utama daripada ibadah seribu bulan! (83 tahun plus 4 bulan) (QS. Al-Qadar: 3).
Barang siapa yang beribadah pada malam ini dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala dari Allah maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni oleh-Nya (HR. Bukhari dan Muslim).

Cara  Keenam Memaknai Ramadhan: Jadikan Ramadhan Sebagai Madrasah untuk Melatih Diri Beramal Saleh, yang Terus Dibudayakan Setelah Berlalunya Bulan Suci Ini
Bulan Ramadhan ibarat madrasah keimanan, di dalamnya kita belajar mendidik diri untuk rajin beribadah, dengan harapan setelah kita tamat dari madrasah itu, kebiasaan rajin beribadah akan terus membekas dalam diri kita hingga kita menghadap kepada YangMahaKuasa.Jangan sampai amal ibadah kita turut berakhir dengan berakhirnya bulan Ramadhan. Kebiasaan kita untuk berpuasa, shalat lima waktu berjamaah di masjid, shalat malam, memperbanyak membaca Al-Qur’an, doa dan zikir, rajin menghadiri majelis taklim dan gemar bersedekah di bulan Ramadhan, mari terus kita budayakan di luar Ramadhan.

Allahta’alamemerintahkan:“Dan sembahlah Rabbmu sampai ajal datang kepadamu.” (QS. Al-Hijr: 99)

Semoga kita tergolong orang-orang yang mampu menikmati keutamaan Ramadhan dan memperoleh hikmahnya, khususnya hikmah lailatul qadar.
Ciri utama diterimanya puasa kita di bulan Ramadhan dan tanda terbesar akan keberhasilan kita meraih lailatul qadar adalah berubahnya diri kita menjadi lebih baik daripada kondisi sebelum Ramadhan.

Di antara hikmah dirahasiakannya waktu lailatul qadar adalah:
- Agar amal ibadah kita lebih banyak. Sebab dengan dirahasiakannya kapan waktu lailatul qadar, kita akan terus memperbanyak shalat, dzikir, doa dan membaca Al-Qur’an di sepanjang malam-malam sepuluh terakhir Ramadhan terutama malam yangganjil.
- Sebagai ujian dari Allah ta’ala, untuk mengetahui siapa di antara para hamba-Nya yang bersungguh-sungguh dalam mencari lailatul qadar dan siapa yang bermalas-malasan serta meremehkannya (Majaalisu Syahri Ramadhaan, karya Syaikh al-’Utsaimin hal: 163)
Maka seharusnya kita berusaha maksimal pada sepuluh hari itu; menyibukkan diri dengan beramal dan beribadah di seluruh malam-malam itu agar kita bisa menggapai pahala yang agung itu. Mungkin saja ada orang yang tidak berusaha mencari lailatul qadar melainkan pada satu malam tertentu saja dalam setiap Ramadhan dengan asumsi bahwa lailatul qadar jatuh pada tanggal ini atau itu, walaupun dia berpuasa Ramadhan selama 40 tahun, barangkali dia tidak akan pernah sama sekali mendapatkan momen emas itu. Selanjutnya penyesalan saja yang ada…
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan teladan:
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika memasuki sepuluh (terakhir Ramadhan) beliau mengencangkan ‘ikat pinggangnya’, menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya.” (HR. Bukhari dan Muslim)