“Sungguh aku tak kuasa hidup tanpamu suamiku. Aku benar-benar
mencintaimu. Kuharap engkau baik-baik saja dalam perjalanan,” ratap
seorang istri kepada suaminya yang hendak pergi menjalankan tugas untuk
waktu yang tidak singkat.
“Terbayang olehku betapa hampanya hidup ini tanpamu. Dan, aku tanpamu, tidaklah punya arti apa-apa,” ia terus menagis sambil memeluk sang suami.
Itulah cinta. Cinta akan menjadikan seseorang merasa memiliki
terhadap apa yang dicintai. Tetapi semua itu adalah cinta biasa. Dalam
film atau sinetron drama seperti itu banyak kita temui. Lantas adakah
cinta yang luar biasa?
Mari kita simak uraian berikut ini, sebuah ulasan sederhana tentang
apa yang telah kita raih dari pertemuan dengan bulan yang penuh
kebahagiaan ini? Selamat menikmati.
Waktu perpisahan dengan Ramadhan kian dekat. Sungguh waktu yang
sangat mendebarkan karena kita akan berpisah dengan momentum paling
mulia sepanjang tahun dalam hidup kita. Sementara masih banyak hal yang
belum bisa kita rampungkan dalam waktu sebulan puasa. Mungkin iman kita
belum teguh, mungkin takwa kita belum cukup, sehingga ada kekhawatiran
kalau-kalau selepas Ramadhan hati ini belum bisa istiqomah di jalan
Allah.
Setidaknya itulah yang diwaspadai oleh Rasulullah bersama para
sahabat setiap menjelang akhir Ramadhan. Bersama para sahabatnya beliau
lebih banyak intropeksi diri daripada bersenang-senang menyambut idul
fitri. Oleh karena itu pada setiap sepuluh terakhir Ramadhan beliau
senantiasa i’tikaf di masjid. Semua itu tiada lain agar Ramadhan
benar-benar menghadirkan ketakwaan dalam hati.
Mengapa i’tikaf yang beliau pilih untuk mengisi sepuluh terakhir
Ramadhan? Semua itu tidak lain karena Ramadhan sangat berharga dan
masjid adalah satu-satunya tempat yang menjamin peningkatan iman dalam
diri setiap Muslim. Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Muslim yang
memakmurkan masjid adalah orang yang berpotensi besar mendapatkan
petunjuk.
Sebagaimana firman-Nya, “Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah
ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari kemudian, serta
tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada
siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang
diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS. 9 :
18).
Secara nalar di sini dapat dipahami bahwa Ramadhan sesungguhnya
adalah momentum yang sangat tepat bagi seluruh umat Islam untuk menempa
diri dalam ibadah untuk menadapatkan hidayah. Apalagi ketika Ramadhan
dimanfaatkan sepenuhnya untuk memakmurkan masjid, tentu peluang masuknya
hidayah akan semakin besar.
Sayangnya di Indonesia, kian menuju akhir Ramadhan masjid kian
mengalami kemajuan shaf. Aktivitas ibadah pun tak semeriah awal
Ramadhan. Sebagian besar umat Islam bergeser ke pusat-pusat perbelanjaan
untuk hunting baju baru. Sebenarnya tidak salah, tetapi kalau
itu yang jadi prioritas dengan meninggalkan amalan yang diteladankan
oleh Rasulullah saw tentu sangat keliru.
Prioritas Nabi
Nabi Muhammad tidak pernah menghabiskan akhir Ramadhan untuk hunting
baju baru atau aktivitas keduniaan. Beliau hanya fokus di masjid untuk
ibadah. Salah satu di antaranya ialah dengan melakukan i’tikaf. Tentu
sikap seperti itu tidak dipengaruhi karena zaman itu tidak ada pasar.
Beliau adalah mantan pedagang ulung di zamannya dan pasar sangat ramai
di Makkah dan Madinah.
“Adalah Rasulullah SAW jika telah masuk sepuluh hari terakhir bulan
Ramadhan, beliau mengencangkan kainnya, menghidupkan malamnya, dan
membangunkan keluarganya.” (HR. Bukhari-Muslim).
Jadi beliau menata diri untuk menertibkan diri dalam berkomunikasi
dengan Allah SWT. Bukan hanya diri pribadi beliau, tetapi beiau ajak
semua anggota keluarganya untuk bersama-sama menutup Ramadhan dengan
fokus ibadah. Jika demikian alasan apa yang membuat kita memilih bersuka
ria dengan kebendaan daripada intropeksi untuk menyempurnakan iman
dengan banyak beribadah?
Sebagai ummat Rasulullah tentu kita akan memprioritaskan apa yang
telah diprioritaskan Rasulullah dalam bulan Ramadhan, terutama pada
sepuluh hari terakhir. Bukankah kita tidak pernah tahu kapan ajal akan
menjemput kita. Maka patut kita waspada dengan sebenar-benarnya
kewaspadaan dengan mengamalkan banyak ibadah dan amal sholeh.
Dalam Al-Qur’an Allah mengingatkan kita lewat firman-Nya, “Katakanlah
kepada hamba-hamba-Ku yang telah beriman: “Hendaklah mereka mendirikan
shalat, menafkahkan sebahagian rezki yang Kami berikan kepada mereka
secara sembunyi ataupun terang-terangan sebelum datang hari (kiamat)
yang pada bari itu tidak ada jual beli dan persahabatan” (QS. 14 : 31).
Berjiwa Besar
Satu hal yang harus dipersiapkan dalam menyongsong akhir Ramadhan
adalah kesiapan mental untuk memiliki jiwa besar. Yakni jiwa yang
santun, cerdas, dan mulia sebagaimana telah diteladankan oleh Rasulullah
saw.
Beliau mampu tidak marah dengan orang yang membencinya, memfitnahnya,
bahkan memusuhinya. Beliau tetap tegar dan memiliki gudang maaf kepada
mereka yang salah dalam menilai diri beliau.
Nah, dalam kehidupan sehari-hari, tidak jarang di antara kita ada
yang terlibat dalam sebuah konflik, salah paham, atau bahkan mungkin
perseteruan. Menjelang akhir Ramadhan, siapkanlah diri kita untuk
membersihkan hati dari pretensi dan ego dengan memberikan pintu maaf
kepada mereka. Tidak saja itu, tetapi juga mendoakan mereka agar
mendapat ampunan dari sisi-Nya.
Allah SWT berfirman, “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu
berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi
berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.
Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu
telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya” (QS. 3 : 159).
Dari sini dapat dipahami bahwa makna takwa yang sesungguhnya adalah
berusaha menjadi mausia yang seperti Allah gambarkan pada ayat di atas.
Apabila sifat tersebut benar-benar menjelma dalam diri setiap Muslim,
tetnu kemuliaan pribadi setiap Muslim akan benar-benar mengikuti jejak
Rasulullah saw, indah, mulia, nan menentramkan.
Dengan sifat yang memungkinkan kita memiliki jiwa besar itu, insya
Allah kita akan memiliki energi yang besar untuk bersabar dalam dakwah
dan jihad di jalan Allah. Dan, tidak ada dambaan paling berharga bagi
setiap Muslim yang lulur madrasah Ramadhan melainkan akan semakin
membulatkan tekad dan memfokuskan diri untuk jihad fi sabilillah.
Itulah orang-orang yang berjiwa besar, yakni mereka yang jiwanya
terpanggil untuk selamat dari siksa api neraka. “Hai orang-orang yang
beriman, sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat
menyelamatkanmu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah
dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah
yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui” (QS. 61 : 10 – 11).
Apabila keinginan untuk selamat dari api neraka itu semakin kuat
dalam dada kita tatkala memasuki akhir Ramadhan, maka bolehlah dikatakan
bahwa kita benar-benar telah siap berpisah dengan bulan Ramadhan.
Tetapi jika sebaliknya, maka kita benar-benar akan kehilangan
momentum berharga yang tidak akan penrah kembali untuk kedua kalinya.
Semoga kita termasuk orang yang benar-benar siap berpisah dengan bulan
penuh berkah ini dengan kesiapan jiwa raga untuk semakin produktif
berjihad dan berdakwah di jalan Allah SWT. Amin, wallahu a’am.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar