Halaman

Assalamu'alaikum Sobat !! wellcome in my blog :)

Kamis, 16 Agustus 2012

Sudah Siapkah Kita Meninggalkan Ramadhan?

“Sungguh aku tak kuasa hidup tanpamu suamiku. Aku benar-benar mencintaimu. Kuharap engkau baik-baik saja dalam perjalanan,” ratap seorang istri kepada suaminya yang hendak pergi menjalankan tugas untuk waktu yang tidak singkat.
“Terbayang olehku betapa hampanya hidup ini tanpamu. Dan, aku tanpamu, tidaklah punya arti apa-apa,” ia terus menagis sambil memeluk sang suami.
Itulah cinta. Cinta akan menjadikan seseorang merasa memiliki terhadap apa yang dicintai. Tetapi semua itu adalah cinta biasa. Dalam film atau sinetron drama seperti itu banyak kita temui. Lantas adakah cinta yang luar biasa?

Semoga ibadah puasa kita diterima Allah SWT dan diberi kesempatan bertemu kembali di tahun depan, Amin.
Mari kita simak uraian berikut ini, sebuah ulasan sederhana tentang apa yang telah kita raih dari pertemuan dengan bulan yang penuh kebahagiaan ini? Selamat menikmati.
Waktu perpisahan dengan Ramadhan kian dekat. Sungguh waktu yang sangat mendebarkan karena kita akan berpisah dengan momentum paling mulia sepanjang tahun dalam hidup kita. Sementara masih banyak hal yang belum bisa kita rampungkan dalam waktu sebulan puasa. Mungkin iman kita belum teguh, mungkin takwa kita belum cukup, sehingga ada kekhawatiran kalau-kalau selepas Ramadhan hati ini belum bisa istiqomah di jalan Allah.
Setidaknya itulah yang diwaspadai oleh Rasulullah bersama para sahabat setiap menjelang akhir Ramadhan. Bersama para sahabatnya beliau lebih banyak intropeksi diri daripada bersenang-senang menyambut idul fitri. Oleh karena itu pada setiap sepuluh terakhir Ramadhan beliau senantiasa i’tikaf di masjid. Semua itu tiada lain agar Ramadhan benar-benar menghadirkan ketakwaan dalam hati.
Mengapa i’tikaf yang beliau pilih untuk mengisi sepuluh terakhir Ramadhan? Semua itu tidak lain karena Ramadhan sangat berharga dan masjid adalah satu-satunya tempat yang menjamin peningkatan iman dalam diri setiap Muslim. Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Muslim yang memakmurkan masjid adalah orang yang berpotensi besar mendapatkan petunjuk.
Sebagaimana firman-Nya, “Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS. 9 : 18).
Secara nalar di sini dapat dipahami bahwa Ramadhan sesungguhnya adalah momentum yang sangat tepat bagi seluruh umat Islam untuk menempa diri dalam ibadah untuk menadapatkan hidayah. Apalagi ketika Ramadhan dimanfaatkan sepenuhnya untuk memakmurkan masjid, tentu peluang masuknya hidayah akan semakin besar.
Sayangnya di Indonesia, kian menuju akhir Ramadhan masjid kian mengalami kemajuan shaf. Aktivitas ibadah pun tak semeriah awal Ramadhan. Sebagian besar umat Islam bergeser ke pusat-pusat perbelanjaan untuk hunting baju baru. Sebenarnya tidak salah, tetapi kalau itu yang jadi prioritas dengan meninggalkan amalan yang diteladankan oleh Rasulullah saw tentu sangat keliru.
Prioritas Nabi
Nabi Muhammad tidak pernah menghabiskan akhir Ramadhan untuk hunting baju baru atau aktivitas keduniaan. Beliau hanya fokus di masjid untuk ibadah. Salah satu di antaranya ialah dengan melakukan i’tikaf. Tentu sikap seperti itu tidak dipengaruhi karena zaman itu tidak ada pasar. Beliau adalah mantan pedagang ulung di zamannya dan pasar sangat ramai di Makkah dan Madinah.
“Adalah Rasulullah SAW jika telah masuk sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, beliau mengencangkan kainnya, menghidupkan malamnya, dan membangunkan keluarganya.” (HR. Bukhari-Muslim).
Jadi beliau menata diri untuk menertibkan diri dalam berkomunikasi dengan Allah SWT. Bukan hanya diri pribadi beliau, tetapi beiau ajak semua anggota keluarganya untuk bersama-sama menutup Ramadhan dengan fokus ibadah. Jika demikian alasan apa yang membuat kita memilih bersuka ria dengan kebendaan daripada intropeksi untuk menyempurnakan iman dengan banyak beribadah?
Sebagai ummat Rasulullah tentu kita akan memprioritaskan apa yang telah diprioritaskan Rasulullah dalam bulan Ramadhan, terutama pada sepuluh hari terakhir. Bukankah kita tidak pernah tahu kapan ajal akan menjemput kita. Maka patut kita waspada dengan sebenar-benarnya kewaspadaan dengan mengamalkan banyak ibadah dan amal sholeh.
Dalam Al-Qur’an Allah mengingatkan kita lewat firman-Nya, “Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang telah beriman: “Hendaklah mereka mendirikan shalat, menafkahkan sebahagian rezki yang Kami berikan kepada mereka secara sembunyi ataupun terang-terangan sebelum datang hari (kiamat) yang pada bari itu tidak ada jual beli dan persahabatan” (QS. 14 : 31).
Berjiwa Besar
Satu hal yang harus dipersiapkan dalam menyongsong akhir Ramadhan adalah kesiapan mental untuk memiliki jiwa besar. Yakni jiwa yang santun, cerdas, dan mulia sebagaimana telah diteladankan oleh Rasulullah saw.
Beliau mampu tidak marah dengan orang yang membencinya, memfitnahnya, bahkan memusuhinya. Beliau tetap tegar dan memiliki gudang maaf kepada mereka yang salah dalam menilai diri beliau.
Nah, dalam kehidupan sehari-hari, tidak jarang di antara kita ada yang terlibat dalam sebuah konflik, salah paham, atau bahkan mungkin perseteruan. Menjelang akhir Ramadhan, siapkanlah diri kita untuk membersihkan hati dari pretensi dan ego dengan memberikan pintu maaf kepada mereka. Tidak saja itu, tetapi juga mendoakan mereka agar mendapat ampunan dari sisi-Nya.
Allah SWT berfirman, “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya” (QS. 3 : 159).
Dari sini dapat dipahami bahwa makna takwa yang sesungguhnya adalah berusaha menjadi mausia yang seperti Allah gambarkan pada ayat di atas. Apabila sifat tersebut benar-benar menjelma dalam diri setiap Muslim, tetnu kemuliaan pribadi setiap Muslim akan benar-benar mengikuti jejak Rasulullah saw, indah, mulia, nan menentramkan.
Dengan sifat yang memungkinkan kita memiliki jiwa besar itu, insya Allah kita akan memiliki energi yang besar untuk bersabar dalam dakwah dan jihad di jalan Allah. Dan, tidak ada dambaan paling berharga bagi setiap Muslim yang lulur madrasah Ramadhan melainkan akan semakin membulatkan tekad dan memfokuskan diri untuk jihad fi sabilillah.
Itulah orang-orang yang berjiwa besar, yakni mereka yang jiwanya terpanggil untuk selamat dari siksa api neraka. “Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui” (QS. 61 : 10 – 11).
Apabila keinginan untuk selamat dari api neraka itu semakin kuat dalam dada kita tatkala memasuki akhir Ramadhan, maka bolehlah dikatakan bahwa kita benar-benar telah siap berpisah dengan bulan Ramadhan.
Tetapi jika sebaliknya, maka kita benar-benar akan kehilangan momentum berharga yang tidak akan penrah kembali untuk kedua kalinya. Semoga kita termasuk orang yang benar-benar siap berpisah dengan bulan penuh berkah ini dengan kesiapan jiwa raga untuk semakin produktif berjihad dan berdakwah di jalan Allah SWT. Amin, wallahu a’am.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar