Pada 22 Juni 1527 (22 Ramadhan 933 H) ditemani Fatahillah, Sunan Gunung
Djati membangun Jayakarta. Sebuah nama yang diangkat dari al-Qur’an
surah al-Fath (48): 1, Inna Fatahna laka Fathan Mubiina. Arti dari
Jayakarta adalah Kemenangan Paripurna. Selanjutnya kota itu kini lebih
dikenal dengan sebutan Jakarta.Oleh Imam Nawawi
KALTIM TODAY — SEBENTAR lagi kita akan memperingati Dirgahayu
Kemerdekaan Republik Indonesia. Sehingga dalam kesempatan catatan akhir
pekan kita kali ini, saya tertarik untuk sedikit mengulas tentang momen
Ramadhan dalam kaitannya dengan Indonesia dan Keindonesiaan kita hari
ini. Ada hal menarik di sana yang semoga saja dapat menjadi bahan
perenungan kita bersama.
Hal yang istimewa kembali terjadi di tahun ini. Ramadhan dan
peringatan hari kemerdekaan Indonesia berlangsung dalam satu kesempatan.
Sungguh sangat luar biasa. Ahmad Mansur Suryanegara dalam karyanya “Api
Sejarah,” merekam bahwa 17 Agustus 1945 bertepatan dengan hari Jum’at, 9
Ramadhan 1364 Hijriyyah.
Sekiranya bangsa ini mengakui Hijriyyah sebagai kalender resmi, tentu
setiap 9 Ramadhan kita akan memperingati hari kemerdekaan negara kita.
Adalah sesuatu yang sungguh sangat luar biasa, sekali lagi. Sebab bangsa
ini akan selalu termotivasi untuk berbuat dengan landasan nilai-nilai
Ilahiyah. Selain itu secara psikologis hal ini tentu akan mendorong para
pemangku amanah rakyat yang duduk di atas sana untuk bekerja secara
maksimal, berlaku jujur, dan adil.
Momentum ini tentu bukan sebuah kebetulan atau sekedar sesuatu yang
berjalan biasa saja. Seperti pemahaman kaum sekularis yang kini banyak
mendominasi wajah media tanah air. Jika demikian cara pandang yang
didahulukan maka hal ini sama dengan membiarkan beku indera dan akal
sehat kita sebagai manusia.
Tentu ada maksud besar mengapa Allah SWT mentakdirkan kemerdekaan
Indonesia pada bulan suci Ramadhan dan momen bersejarah itu terulang
kembali di tahun ini. Kita merayakan HUT RI ke-66 tersebut bertepatan di
bulan Ramadhan ini.
Seperti dalam kasus perang Badar, Ramadhan bagi bangsa Indonesia
memberi kenangan indah penuh hikmah, rahasia, spirit, nilai kejuangan
dan heroisme yang akan selalu dikenang sepanjang sejarah.
Merupakan satu langkah tepat dan strategis jika kita sebagai generasi
muda terkini, kembali membuka lembaran sejarah bangsa ini dengan penuh
kecintaan dan kecermatan. Dengan demikian insya Allah analisa kita
tentang masa depan bangsa tidak akan salah jalan. Bahkan, insya Allah,
kita tidak akan mudah tertarik menjadi burung beo yang selalu suka
meniru gaya bangsa asing.
Bagaimana bangsa ini bisa memiliki bahasa persatuan, bahasa
Indonesia, sehingga kita menjadi satu-satunya bangsa terjajah di Asia
Tenggara yang proklamasinya menggunakan bahasanya sendiri, bukan bahasa
penjajah.
Bagaimana bisa, negeri kepulauan yang oleh Geolog dan Fisikawan
Nuklir asal Brazil, Prof. Arysio Santos diklaim sebagai pusat peradaban
Atlantis yang diimpikan para filosof Yunani itu, kini menjadi
satu-satunya negara yang memiliki penduduk Muslim terbesar di dunia. Apa
hikmah dibalik ini semua? Mari kita kaji dengan seksama.
Padamnya Api Sejarah
Seluruh bangsa Indonesia pasti mengenal nama Wali Songo. Apalagi mereka
yang pernah berziarah ke pulau Jawa dan menyempatkan diri menghirup
udara di area pemakaman para wali sembilan itu. Tentu dapat dipastikan
bahwa Wali Songo itu nyata dan menyejarah.
Sayangnya sejarah Wali Songo kini tak lagi banyak dikaji pemuda
negeri ini. Padahal suka atau tidak suka, fakta sajarah menyatakan bahwa
Wali Songo itulah para pionir berdirinya bangsa yang merdeka pada 17
Agustus 1945 ( 9 Ramadhan 1364 H).
Satu dari sembilan wali itu bernama Syarif Hidayatullah, kini namanya
menjadi nama universitas Islam terbesar di Indonesia (UIN Jakarta)
berhasil membangun tiga kekuasaan politik Islam di Jawa Barat; Banten,
Jayakarta, dan Cirebon.
Dalam satu riwayat disebtukan bahwa Sultan Babullah dari Kesultanan
Ternate ternyata masih memiliki garis keturunan dengan Syarif
Hidayatullah yang juga dikenal dengan julukan Sunan Gunung Djati.
Pada 22 Juni 1527 (22 Ramadhan 933 H) ditemani Fatahillah, Sunan
Gunung Djati membangun Jayakarta. Sebuah nama yang diangkat dari
al-Qur’an surah al-Fath (48): 1, Inna Fatahna laka Fathan Mubiina. Arti
dari Jayakarta adalah Kemenangan Paripurna. Selanjutnya kota itu kini
lebih dikenal dengan sebutan Jakarta.
Sejarawan Ahmad Mansur Suryanegara telah merekam jelas bahwa nama
Jayakarta melambangkan rasa syukur kepada Allah, atas kemenangannya
dalam menggagalkan usaha penjajahan Kerajaan Katolik Portugis di
Pelabuhan Kalapa atau Sunda Kalapa.
Tidak sekedar membangun kekuatan politik, jauh sebelum perang
memperebutkan Sunda Kelapa terjadi aktivitas dagang telah menjadi
tradisi sebagian besar anggota Wali Songo. Bahasa Melayu adalah bahasa
bersama, sehingga transaksi jual beli bisa dilangsungkan di seluruh
kawasan Nusantara. Jadi wajar jika kemudian kita memiliki bahasa
persatuan yaitu Bahasa Indonesia.
Hal ini menunjukkan bahwa Wali Songo adalah pelopor bangsa dalam
melawan para penjajah. Sayangnya, Wali Songo kini sering dilupakan.
Padahal dari perjuangan merekalah 400 tahun kemudian bangsa ini menjadi
negara yang berdaulat dengan Jakarta sebagai ibu kota negara.
Jadi ibu kota negara kita, Jakarta, ternyata didirikan oleh seorang
wali bersama sahabat seperjuangannya Fatahillah, yang nama itu sendiri
diangkat dari al-Qur’an. Sungguh satu fakta yang sangat mengagumkan.
Namun sekali lagi, amat sayang, pemuda hari ini banyak yang rabun jauh
terhadap sejarah sendiri.
Islam dan Indonesia: Tak Terpisahkan
Uraian singkat di atas sedikit memberikan satu gambaran yang cukup jelas
bahwa sejatinya Indonesia dan Umat Islam yang menjadi penghuni
mayoritas negeri ini seperti dua sisi mata uang. Indonesia dan Umat
Islam adalah satu kesatuan. Ia sama sekali tidak bisa dipisahkan. Baik
secara historis, yuridis maupun kultural.
Namun sayangnya, potensi keragaman umat Islam di tanah air kadang
kala masih dilihat sebagai ancaman, khususnya oleh pemerintah. Bukan
sebagai potensi yang bisa dikoordinasikan, sehingga mampu melahirkan
satu gerakan massif yang berkesinambungan.
Fakta boleh direkayasa, namun sejarah tidak bisa kita pungkiri bahwa
peranan umat Islam terhadap negeri khatulistiwa ini sungguh tidak bisa
diabaikan atau dihilangkan begitu saja. Lihat saja peranan alumni pondok
pesantren beberapa saat setelah kemerdekaan.
Moh. Rasydi, alumni Pondok Pesantren Jamsaren, misalnya, dia adalah
Menteri Agama RI pertama. Ada pula Muhammad Natsir yang alumni Pondok
Pesantren Persis yang menjadi Perdana Menteri Indonesia. Selain itu, ada
sosok KH. A. Wahid Hasym alumnus Pondok Pesantren Tebuireng, KH Kahar
Muzakkir dan tokoh lain, yang masuk sebagai anggota Panitia Persiapan
Kemerdekaan.
Tersebut juga KH Muslih Purwokerto dan KH Imam Zarkasy yang alumni
Jamsaren dan pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor. Keduanya adalah
tokoh yang menjadi anggota Dewan Perancang Nasional. Serta jangan
lupakan bakti seorang KH Idham Chalid yang menjadi wakil Perdana Menteri
dan Ketua MPRS.
Singkatnya, komponen utama dari umat Islam telah berpartisipasi dan
berintegrasi dengan bangsa ini hampir di setiap lini perjuangan.
Menariknya mereka menduduki jabatan-jabatan itu tidak untuk kepentingan
sesaat, tapi lebih untuk membela dan memperjuangkan agama, negara dan
bangsa kita ini.
Keberanian yang Tak Padam
Hampir seluruh penjajah, mulai dari Portugis, Inggris, Belanda dan
terakhir Jepang sangat mewaspadai kekuatan umat Islam. Mereka sangat
berhati-hati dalam menghadapi kekuatan umat Islam. Penjajah selalu
khawatir sebab umat Islam memiliki mental juang yang tak mudah
dipadamkan. Apalagi kalau sekedar mengandalkan senjata, pasti umat Islam
bangkit dan balik menyerang.
Sejarah kemenangan Fatahillah atas tentara penjajah Portugis di Sunda
Kelapa (kini Jakarta) benar-benar membuat Barat sangat trauma. Atas
pengalaman historis tersebut dan kuatnya perlawanan Muslim di Aceh,
penjajah Belanda pun memanggil Snouck Hurgronje, seorang warga Belanda
berdarah Yahudi yang pernah lama hidup di Makkah. Snouck didatangkan ke
Indonesia untuk mengatasi perlawanan umat Islam secara halus dan
terselubung.
Secara terbuka, jika negara ini diinjak-injak, atau diganggu
kedaulatannya, maka para ulama yang menjadi pemimpin umat akan tampil di
garda terdepan perjuangan merebut kedaulatan. Satu kisah menarik layak
kita renungkan.
Kekejaman, keberingasan dan kebrutalan tentara Jepang ternyata tak
mampu berlanjut di hadapan ayahanda Buya Hamka yang berdampak pada
perubahan kebijakan penjajah Jepang.
Pada pertengahan 1943, Shumubu (instansi urusan agama Islam) yang
dibentuk diujung tahun 1942 mengundang beberapa ulama. Pertemuan
dipimpin oleh kolonel Horie yang didampingi oleh KH. Abdul Karim
Amrullah (ayah Buya Hamka), dan dihadiri oleh 59 ulama yang diundang
dari seluruh Jawa.
Seperti biasa Jepang selalu memulai pertemuan dan memaksa yang lain
untuk melakukan Seikeirei, tradisi membungkuk hingga sembilan puluh
derajat (sama seperti rukuk) menghadap arah Tokyo sebagai bentuk
penghormatan kepada raja Jepang.
Semua hadirin berdiri sebagai tanda kepatuhan, kecuali KH Abdul Karim
Amrullah; beliau tetap duduk dan tidak melaukan Seikeirei itu. Semua
orang istimewa dan para perwira Jepang yang menyaksikan hal itu
tercengang dan terkejut dengan sikap KH Abdul Karim Amrullah itu.
Melihat kejadian tersebut ternyata Jepang tidak berani bertindak apa-apa
terhadap beliau.
Atas keberanian KH Abdul Karim Amrullah itu, Jepang langsung mencabut
kewajiban Seikeirei atas seluruh rakyat Indonesia. Selanjutnya 3
Oktober 1943 KH. Abdul Karim Amrullah dan beberapa temannya menjadi
pelopor terbentuknya Pembela Tanah Air (Peta) yang ternyata menjadi
embrio terbentuknya Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Ingin Berjaya, Berdayakan!
Akan tetapi fakta ironis terjadi, pemerintah seolah tidak lagi
mempedulikan sejarah. Belakangan umat Islam digempur dengan berbagai isu
yang irasional. Mungkin benar saja ada oknum orang Islam yang berbuat
teror. Tetapi hakikat ajaran Islam sama sekali tidak berbau terorisme.
Atas dasar fakta yang telah diuraikan di atas, sudah seharusnya
pemerintah memandang positif dan mengutamakan sikap kooperatif terhadap
umat Islam. Berikanlah hak-hak umat Islam untuk beribadah dengan baik.
Sungguh telah banyak yang diberikan umat ini terhadap negara.
Bayangkan saja, dari sisi zakat misalnya, jika dibandingkan dengan
potensi pajak, zakat jauh lebih menjanjikan dari pada pajak. Orang
membayar zakat jauh lebih mudah dari pada membayar pajak. Bayangkan jika
semua umat Islam menyadari perlunya menjalankan ibadah secara sempurna,
terkhusus kewajiban membayar zakat, tentu rakyat kita akan sejahtera.
Sadarilah wahai pemegang kebijakan bahwa Indonesia tidak bisa
dipisahkan dari umat Islam dan umat Islam adalah bagian tak terpisahkan
dari Indonesia.
Oleh karena itu, di bulan suci ini yang 66 tahun lalu kita
memproklamasikan kemerdekaan RI bersama, harus dijadikan momentum untuk
membangun integrasi bangsa dengan kembali memberdayakan potensi umat
Islam secara utuh demi terwujudnya Indonesia yang adil dan makmur.
Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar